Islamic Widget

Minggu, 06 Maret 2011

3 Kisah Penyandang Tuna Netra yang Luar Biasa

Menonton acara Kick Andy pada tanggal 4 Maret 2011 dengan tema Menggapai Asa Dalam Gulita terdapat kisah 3 orang narasumber yang sungguh luar biasa. Tiga orang penyandang tuna netra yang mampu mengubah paradigma orang tentang dunia pendidikan. Bahwa setiap berhak tanpa kecuali untuk merasakan nikmatnya belajar dalam sebuah institusi pendidikan. Seperti halnya kisah Helen Keler yang luar biasa, kisah Mimi Mariani Lusli, Tolhas Damanik, dan Saharudin Daming ini pun tidak kalah luar biasa. 
Semoga kisah ini dapat memotivasi kita semua, kalau mereka saja mampu kenapa kita yang dikaruniai oleh Allah SWT dengan tubuh yang sehat tanpa kekurangan sesuatu apapun tidak..................


Mimi Mariani Lusli: Penyandang Tuna Netra yang Jadi Dosen di Atmajaya

”Tunanetra kerap dicap sebagai tukang pijit dan pemain musik. Saya tertantang untuk berkarya di kalangan orang-orang normal,” kata Mimi Mariani Lusli, wanita kelahiran Jakarta, 17 Desember 1962.
Mimi Mariani Lusli adalah satu-satunya tunanetra yang berprofesi sebagai tenaga pengajar di Universitas Atmajaya, Jakarta. Hal yang membuatnya istimewa adalah alumnus Leeds University, Inggris itu menjadi dosen setelah menempuh jalur pendidikan di sekolah dan universitas umum.
Berbeda dengan penyandang tunanetra yang kebanyakan sulit beradaptasi dengan lingkungan sekolah, Mimi justru senang bersaing dengan rekan-rekan yang normal.
Mimi yang anak ketiga di antara empat bersaudara itu menyadari penglihatannya mulai kabur sejak berusia 10 tahun, yakni saat dia duduk di bangku SD Candranaya, Jakarta Barat. Dia mengalami penyakit genetik retinitis pigmentosa yang merupakan penyakit degenerasi retina. Penyakit itu memiliki kecenderungan untuk diturunkan secara genetis. Pada retinitis pigmentosa, terjadi degenerasi fotoreseptor retina secara bertahap sehingga menyebabkan hilangnya penglihatan secara progresif.
‘Manifestasi gejala-gejala pada penderita retinitis pigmentosa adalah sulit melihat pada malam hari dan rabun senja, penyempitan lapang penglihatan secara perlahan, dan berlanjut pada kebutaan,” jelasnya. Karena penyakit itu mengenai saraf dan genetik, sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif.
Anak pasangan Kuswandi Lusli dan Yuliawati itu pun berkali-kali dibawa ke dokter mata. Ketika penyakitnya makin parah, dia tidak bisa lagi menulis di buku. Akibatnya, ketika duduk di kelas V SD, Mimi tidak bisa bersekolah lagi.
Pada usia 17 tahun, Mimi benar-benar mengalami kebutaan total. Rasa iri mulai muncul karena kakak dan adiknya bisa pergi belajar di sekolah. Pada saat yang sama, Mimi terus berganti dirawat di dokter mata dan dokter saraf. Sambil terus berobat itu, Mimi akhirnya bisa menempuh pendidikan di Sekolah Tunagrahita Bakti Luhur, Malang, Jawa Timur.
”Saya harus menerima kenyataan ketika suatu hari dokter memberi tahu bahwa penyakit saya tak bisa sembuh,” kata wanita yang memiliki nama panjang Veronika Laetitia Mimi Mariani Lusli ini.
Sekitar sebulan setelah itu, dia memilih mengisolasi diri dari dunia luar. Namun, kondisi tersebut justru membuat keluarganya terpacu untuk memberi dukungan. Melalui bimbingan rohani sejumlah pastor dan konsultasi panjang dengan psikolog, Mimi berusaha bangkit.
”Saya bangkit setelah membandingkan kondisi teman-teman tunagrahita. Mereka punya mata dan kuping, tapi tidak pernah dipakai secara baik,” ujar Mimi.

Dra. Mimi Mariani Lusli, M.Si., M.A.
Setelah menyelesaikan studi setara SMP di Malang pada 1982, Mimi melanjutkan studi di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Santa Maria (1982-1985). Dia kemudian berhasil menyelesaikan sarjananya di IKIP Santa Dharma Jogja (1985-1989).
Setelah itu, dia mengambil Master of Sains di Universitas Indonesia (UI) Depok (1995-1997). Mimi juga memperoleh beasiswa dari British Council, sehingga bisa lulus program studi Master of International Communication di Leeds University, Inggris.
Tak cukup sampai disitu, perempuan pejuang ini sekarang sedang melanjutkan kuliah kedoktorannya di Faculty of Earth and Life Sciences Universitas of Amsterdam di Belanda. “ Bagiku belajar itu mengasyikan,” kata salah satu pendiri yayasan Mitra Netra ini.
Mimi punya cara tersendiri untuk bisa sekolah dan kuliah bersama orang-orang normal. “Kami orang tuna netra harus punya konsentrasi penuh untuk bisa menyimak dengan baik,” kata Mimi tentang salah satu trik belajarnya.
Sebagai penyandang buta, trik-trik studi yang diterapkan Mimi cukup unik. Ketika harus memahami sebuah materi perkuliahan, dia mencari rekan yang suka diajak berdiskusi. Kalau hendak ke perpustakaan, dia mengajak temannya yang kutu buku membaca ke perpustakaan.
Mimi juga dibantu sejumlah teman serta saudaranya ketika harus membaca diktat perkuliahan dan menyelesaikan tugas. ”Saya juga berlagak seperti wartawan. Di kampus, saya membawa tape recorder kecil untuk merekam mata kuliah supaya bisa diulang di rumah,” jelasnya.
Pada 1991-2003, Mimi mengajar metode bergaul dan komunikasi dengan orang cacat di Universitas Atma Jaya, Jakarta. Berbagai organisasi penyandang tunanetra ditekuni. Misalnya, Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni). Organisasi sangat gigih memperjuangkan kesetaraan hak dan menganalisis pasal-pasal dalam GBHN yang diskriminatif terhadap penyandang tunanetra.
Mimi kini merancang sebuah metode pembelajaran tentang teori disabilitas bagi penyandang cacat maupun bagi orang normal. Program itu  dimatangkan Universitas Indonesia. Pada mata kuliah tersebut, dia mendesain teori ilmu komunikasi bagi tiap individu dari dua sisi dunia itu untuk memudahkan proses interaksi.
”Sebab, orang normal dan orang cacat itu bagai sisi mata uang yang berbeda, sehingga harus ada jembatan bagi mereka untuk saling memahami,” ujarnya.
Dia berharap, dengan mempelajari mata kuliah tersebut, mahasiswa yang terjun ke dunia profesi akan terasah kepekaannya terhadap sesama. Khususnya terhadap para penyandang cacat. ”Coba Anda jalan-jalan di tempat umum dan teliti berapa persen bangunan dan lokasi yang ‘ramah’ terhadap penyandang cacat,” ungkapnya mengkritik.
Perubahan sikap itulah yang kini juga gencar dia kampanyekan melalui metode belajar di Mimi Institute. Lewat institut itu, dia mengajarkan pelatihan sensitivitas kepada semua orang. Tiap peserta dilatih untuk memahami karakteristik penyandang cacat. ”Saat ini banyak hal yang tidak nyambung ketika penyandang cacat berinteraksi dengan orang normal,” tegasnya.
Seakan ingin terus menularkan semangatnya pada orang lain, Mimi banyak sekali berkecimpung dengan lembaga-lembaga sosial yang membantu pendidikan para penyandang cacat, terutama tuna netra. Mimi telah membangun Mimi Institute, sebuah lembaga yang memiliki visi agar para penyandang cacat memiliki hidup yang lebih baik.

Tolhas Damanik: Konsultan Tuna Netra Lulusan S2 Ohio University, AS


Tolhas Damanik adalah penyandang tuna netra sejak lahir. Penyakit glaukoma sejak lahir telah membuat Tolhas tak bisa melihat dunia ini dengan kedua bola matanya. Keterbatasan penglihatan tidak membuat Tolhas Damanik pupus semangat. Keinginannya mencapai pendidikan tinggi membuat semangatnya terus berkobar.
Semuanya dibuktikan dengan diperolehnya beasiswa dari Ford Foundation untuk jenjang pendidikan pascasarjana. “Beasiswa ini juga merupakan hadiah untuk penyandang tuna netra lainnya,” kata Tolhas.
Dorongan dan keinginan orangtua agar Tolhas mendapatkan pendidikan layak yang membuatnya memperoleh beasiswa. Di samping pada saat itu belum ada sekolah luar biasa di Bangka Belitung.
Sejak kecil Tolhas belajar di sekolah umum. Jadi ia harus beradaptasi dengan sistem pendidikan yang memang diperuntukan bagi siswa-siswa yang tidak buta, tapi hal ini tidak memupus semangatnya untuk terus maju.
Di luar keterbatasannya, ternyata Tolhas memiliki prestasi yang baik sehingga ia dapat lulus SMP. Setelah selesai sekolah menengah pertama, ia terpaksa harus mencari SMA, karena pihak sekolah hanya mempunyai fasilitas untuk TK, Sd, dan SMP. Ia kemudian melanjutkan ke sekolah menengah atas umum. Namun disadarinya kemudian, Tolhas mengalami diskriminasi di sekolah umum.
Beberapa siswa memandangnya sebelah mata dan merasa iri karena prestasinya. “Saya terdiskriminasi sehingga saya di drop out dari sekolah itu,” katanya. Dengan alasan memeriksakan mata, Tolhas dan keluarga memutuskan untuk ke Jakarta. Namun pihak dokter yang menanganinya tidak dapat menjamin matanya bisa disembuhkan.
Vonis dokter tersebut tidak membuat Tolhas patah semangat. Ketika ada yang menyarankan untuk mengikuti ujian persamaan, Tolhas pun melakukannya dan berikutnya adalah mengikuti UMPTN, seleksi untuk masuk perguruan tinggi.
“Itu suatu hal yang tidak pernah terpikir bagi saya, dan mana mungkin sampai bisa ke arah sana, tapi saya dapat melanjutkan sekolah di Universitas Negeri Jakarta (dulu IKIP Jakarta), jurusan bimbingan konseling,” katanya.
Setelah itu, Tolhas pun bergabung dengan Yayasan Mitra Netra yang merupakan awal bergabungnya dengan komunitas tuna netra lainnya. “Di situ saya sebagai konsultan, yang pada awalnya misi dari yayasan itu sendiri dan pribadi, yaitu menciptakan pendidikan inklusif, yang ingin mewujudkan agar tuna netra juga bisa mendapat pendidikan yang sama dengan yang lain,” ungkapnya.
”Lulus dari sarjana, saya coba-coba untuk mencari beasiswa. Karena saya tidak punya biaya untuk kuliah”, tutur anak dari Usman Damanik dan Sintaria Simatupang ini.
Ia mencoba-coba untuk mencari beasiswa ke luar negeri dengan pertimbangan beasiswa dari negara asing akan memberikan banyak porsi dan aksesibilitas, semisal buku dan alat-alat pembelajaran, hingga iklim yang lebih menerima orang dengan keterbatasan.
“Negara asing memang memberikan peluang lebih besar dan juga memberikan tempat bagi orang seperti saya”, katanya.
Tolhas pun bercerita, dari dulu yang dicita-citakannya adalah bagaimana bisa belajar.“Walaupun jalannya tidak mulus, selama masih ada kesempatan kenapa tidak,” katanya. Semuanya ia buktikan ketika memperoleh beasiswa Ford Foundation.
Anak bungsu dari empat bersaudara ini sukses menembus ketatnya persaingan meraih beasiswa pascasarjana dari Ford Foundation. Tolhas berhasil menyisihkan 6.000 pelamar lainnya. Satu-satunya penerima beasiswa penyandang cacat ini memulai studinya di AS.
Tolhas mampu melewati banyak hal sulit dan berhasil menyelesaikan gelar masternya bidang Konseling di Ohio University, Amerika Serikat. “Semakin sadar saya punya hambatan, semakin besar keinginan saya untuk sekolah,” katanya.
Kini Tolhas sudah kembali ke tanah air dan bekerja di lembaga non profit sebagai konsultan pendidikan. Ia juga sering diundang sebagai pembicara dalam seminar pendidikan inklusif dan konseling, di dalam maupun luar negeri.

Saharudin Daming: Tuna Netra Pertama Indonesia Penyandang Gelar Doktor Hukum


Pada 21 Juni 2007, terjadi peristiwa yang takkan pernah dilupakan para pemerhati Hak Asasi Manusia Indonesia, yakni untuk kali pertamanya keanggotaan Komnas HAM diisi oleh seorang tuna netra. Sosok tersebut adalah Saharuddin Daming, seorang pria asal Pare-Pare, Sulawesi Selatan.
Saharuddin lahir pada 28 Mei 1968, sebagai bungsu dari lima bersaudara. Pada usia 5 tahun, ayahnya meninggal dunia. Kejadian inilah yang mendorong Daming kecil untuk membantu ibunya dan keempat kakaknya mencari uang, sepulangnya dari sekolah. Hingga akhirnya mereka mampu untuk membeli sebuah rumah panggung khas Bugis.
Rumah yang baru dibeli tersebut masih harus diperbaiki karena ada beberapa bagian struktur rumah dan atap yang lepas. Ketika melakukan pembongkaran inilah, mata kanan Daming, secara tak sengaja, kemasukan serpihan halus atap nipah. Kejadian ini yang menjadi awal Saharuddin bermasalah dengan indera penglihatannya.
Serpihan halus dari nipah tersebut telah mengakibatkan mata kanannya mengalami kebutaan total. Bertumpu pada mata kirinya, ia melanjutkan kegemarannya untuk membaca buku. Sayangnya, kegiatan ini tidak didukung oleh penerangan yang memadai yang mengakibatkan mata kirinya juga menjadi buta total.
Dokter memvonis sistem saraf dari otak ke retina matanya lumpuh. Namun demikian, kejadian ini tidak mengakibatkan dirinya menjadi putus asa. Ia terus melanjutkan kegemarannya tersebut meski dengan menggunakan media lain, yaitu dalam bentuk Braille.
Kebutaannya sejak usia 10 tahun tak menghalangi Saharudin untuk meraih cita-cita. Sejak kecil Saharudin bersekolah di sekolah umum. Saat suatu hari kepala sekolahnya di SMA menyatakan ia harusnya ke sekolah luar biasa, Saharudin pun memberikan argumennya.
“Pak kalau sekolah saya luar biasa, nanti kuliah harus di universitas luar biasa juga, kerjanya di tempat luar biasa, dan gajinya luar biasa. Saya bilang begitu ,” tutur Saharudin diakhiri tawa.
Berpegang pada pengalaman pribadinya sebagai seorang tuna netra yang seringkali disisihkan, ia menjadi paham dan peka akan penindasan HAM. Hal inilah yang mendorongnya untuk bercita-cita menjadi anggota Komnas HAM sebagai salah satu upaya penyadaran publik akan hak-hak dasar sebagai manusia dan warga negara.
Ia akhirnya menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar tahun 1994, mulai aktif di LSM dan organisasi pemberdayaan penyandang cacat kemudian melanjutkan ke pendidikan advokat. Partisipasinya peserta ujian advokat dianggap tak lazim oleh Pengadilan Tinggi Makassar, kualitas atas jawaban ujian yang ia berikan diragukan dan ia dinyatakan tidak lulus. Saharuddin tidak tinggal diam, ia mengajukan protes ke Mahkamah Agung. Tindakan ini membuahkan hasil, ia berhasil dilantik menjadi advokat dengan status lulus susulan.
Dengan perjuangannya meyakinkan banyak pihak dalam dunia pendidikan dan HAM, dirinya berhasil menamatkan Magister Hukum di Universitas Hasanuddin pada tahun 2002 dan menjadi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin. Dan perlu dicatat, dia adalah tuna netra pertama di Indonesia yang menyandang gelar ini.
Semangat, ketekunan, dan kecerdasan telah mengantar Saharuddin, sebagai orang yang layak menduduki jabatan penting. Ia kini menjadi Komisioner Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, atau Komnasham, periode 2007 hingga 2012.
Sumber: KickAndy.commimiinstitute.com (kompas), mimiinstitute.com, kabarinews.com, indopos, indonesiaproud.wordpress.com

2 komentar:

  1. Terima kasih buat kisah motivasinya.., karena bisa menjadi motivasi diriku untuk terus move on.
    Salam kenal namaku Pradana.., aku juga seorang yang memiliki mata tunanetra sebelah.
    Aku juga pernah merasakan bagaimana tertekannya sebagai seorang tunanetra. Terutama saat kita mencari pekerjaan. Banyak dari tempat ku melamar, mereka tidak melihat potensiku, tetapi mereka melihat fisik. Tetapi dengan hal2 itu yang terus berulang, aku mampu mencari alternatif lain, seperti menulis buku dan mencoba membuka toko online.

    Silahkan kunjungi dan dapatkan buku yang saya tulis yang berjudul "Praktis dan Mandiri Belajar Bahasa Jepang (Dilengkapi Cara Menulis Huruf Hiragana, Katakana & Kanji dengan Ms.Word)"

    Atau silahkan pilih2 buku berkualitas lainnya di : www.honbookstore.com
    Dapatkan diskon gede2an hingga 15%. :D

    Jangan lupa silahkan tinggalkan jejak alias komen di : Hon Book Store.

    BalasHapus
  2. Saya juga penyandang tunanetra dengan pentebab yg sama seperti ibu Mimi. Namun saya juga punya impian yang sama seperti beliau bertiga. Saat ini saya sedang mencoba meraih mimpi yg sama untuk kuliah di luar negeri. Semoga nanti akan lebih banyak generasi muda penyandang disabilitas yg bisa membanggakan Indonesia.

    BalasHapus