Perencanaan konstruksi sumur dilakukan setelah diketahui kondisi geohodrologinya secara teliti berdasarkan hasil penyelidikan baik yang berupa pemboran eksplorasi beserta pengujiannya maupun dari data log bgeofisika. Dari perencanaan konstruksi sumur yang tepat diharapkan dapat memanfaatkan airtanah secara optimumdalam waktu yang cukup lama.
I. Pipa Jambang
Pemilihan pipa jambang baik ukuran maupun bahannya. Pemilihan ukuran pipa jambang meliputi garis tengah yang disesuaikan dengan besarnya debit pemompaan yang direncanakan, denagn ukuran yang tepat maka dapat mengurangi kehilangan tenaga sehingga pemompaanya dapat efisien. Menurut Walton 1970 hubungan antara debit pemompaan dengan garis tengah pipa jambang seperti pada table dibawah ini:
Tabel 1. Hubungan antara debit pemompaan dengana garis tengah pipa jambang (Walton, 1970)
Debit Pemompaan (L/det) | Diameter Pipa (Inchi) |
< 6,3 12,6 25,2 37,8 56,7 75,6 113,4 | 6 8 10 12 14 16 20 |
Panjang pipa jambang tergantung dari jenis pompa yang dipasang dan karakteristik akuifernya. Disarankan bahwa panjang pipa jambang 10-20 ft lebih panjang dibawah muka airtanah maksimum akibat pemompaan sumur. Disamping itu harus benar- benar lurus teruruttama apabila pompa yang dipasang adalah jenis pompa turbin atau pompa selam. Pemasangan konstruksi sumur termasuk pipa jambang, lubang bor harus benar – benar bersih dari serbuk. Utuk batuan yang lepas, pipa jambang harus disemen dengan semen Portland dicampur dengan pasir sehingga terikat erat dengan tanah atau batuan di sekitarnya. Panjang penyemenan secukupnya jangan sampai mengenai pipa saringan, sedangkan untuk batuan kompak pipa jambang dapat disemen dengan tanah liat. Pipa jambang terletak pada bagian teratas dari konstruksi sumur.
II. Pipa Buta dan Pipa Saringan
Pipa buta dan pipa saringan dipasang di bawah pipa jambang dengan ukuran garis tengah lebih kecil dan disambung dengan kerucut reduser dengan pipa jambang. Pipa buta dipasang pada bagian lapisan kedap air atau pada akuifer yang tidak diinginkan untuk diambil airtanahnya. Panjang pipa buta tergantung pada ketebalan bagian yang tidak diinginkan tersebut dan dipasang 2 ft lebih panjang. Sedangkan pipa saringan dipasang pada akuifer yang ingin kita ambil airtanahnya.
Persyaratan pipa saringan :
1. Cukup dapat melalukan air dan mempunyai hambatan (friksi) yang kecil.
2. Cukup kuat menerima tekanan/ gaya yang mungkin ada dalam sumur.
3. Cukup kuat dan tahan terhadap proses kimia, bakteriologi, korosi dan inrustasi baik karena airtanahnya maupunakibat treatment yang dilakukan.
4. Cukup mudah diinstalasikan.
2.1. Macam Pipa Saringan
1. Pipa stainless dibuat dengan komposisi kromium 18%, nikel 8%, baja 74% dengan warna baja keperakan. Pipa ini mempunyai daya tahan sangat baik terhadap korosi dan baik terhadap acid treatment sehingga baik dipakai pada kondisi airtanah dengan kandungan hidrogen sulfida, oksigen terlarut, karbon dioksida dan bakteri besi yang tinggi.
2. Pipa besi dengan komposisi besi murni 89,84% dengan warna galvanis. Pipa ini mempunyai daya tahan cukup terhadap korosi dan jelek terhadap acid treatment, dapat digunakan pada sumur yang mempunyai airtanah netral.
3. Pipa baja dengan komposisi bervariasi, besi 99,36%-99,72%. Karbon 0,09%-0,15% dan mangan 0,2%-0,5% warna galvanis. Mempunyai daya tahan terhadap korosi namun daya tahan terhadap acid treatment buruk. Digunakan untuk sumur yang bersifat sementara atau yang airtanahnya tidak korosif dan inkrustasi.
4. Pipa monel dengan komposisi nikel 70%, tembaga 30% berwarna perak kebiru-biruan. Daya tahan terhadap dan acid treatment sangat baik, sehingga dapat dipakai pada sumur yang mempunyai airtanah dengan kandungan sodium-klorida tinggi, oksigen terlarut pada air laut.
5. Pipa plastic, pipa ini tahan terhadap air garam, air mineral, karbon dioksida, hidrogen sulfida, asam klorida, tidak mudah mengalami korosi akibat reaksi kimia, disamping itu ringan sehingga memudahkan dalam transport dan juga harganya relatif murah. Kejelakannya adalah mudah bengkok sehingga menyulitkan dalam kontruksi sumur, mudah pecah terutama kekuatan pada sambungan pipanya.
6. Pipa serat gelas, jenis ini lebih baik dari pada plastik karena lebih kuat dan tahan lurus sehingga memudahkan dalam pemasangan konstruksi sumur, akan tetapi harganya jauh lebih mahal.
Selain macam bahan seperti tersebut dapat dibedakan berdasarkan bentuk lubang saringan yaitu jenis continous slot yang dibuat dengan melilitkan kawat yang berpenampang segitiga sekeliling lajur-jalur kawat berbentuk silinder. Persinggungannya dilas dengan kuat. Kawat lilitan berbentuk segita dimaksudkan agar partikel yang masuk diantara kawat tidak menyumbat lubang saringan, saringan ini banyak digunakan karena % luas lubangnya cukup besar. Selain itu dapat dengan mudah jarak kawat sehingga ukuran lubangnya akan berubah sesuai dengan kondisi geohidrologinya.
Saringan jenis louver atau shutter dari pipa silinder diberi lubang (celah) melintang tegak lurus sumbu pipa. jarak masing-masing celah terbatas karena akan mempengaruhi kekuatan saringan. Prosentase luas celah sangat rendah, mudah terjadi penyumbatan. Jenis ini cocok untuk sumur produksi yang dilengkapi engan kerikil pembalut pembuatan
Jenis slotted pipe, dibuat dari pipa baja tahan karat yang digergaji atau diberi perforator untuk membuat celah memanjang sekeliling dinding pipa. Jenis ini sangat murah tetapi banyak kekurangannya antara lain sepeti halnya jenis louver di atas ditambah bahwa pada bekas gergaji mudah mnegalami korosi dan berkarat. Jenis ini banyak digunakan pada sumur eksplorasi atau sumur pengamat.
Jenis saringan plastic, harganya murah dengan % lubang dapat tinggi akan tetapi dalam pemasangannya perlu hati-hati karena pipa iini tidak terlalu kuat. Jenis saringan ini cocok untuk akuifer yang mempunyai potensi air tanahnya kecil.
III. Penentuan Panjang Saringan
Secara umum untuk mendapatkan aitanah yang besar dengan memasang saringfan pada seluruh lapisan akuifer yang diketemukan. Akan tetapi perlu pula dipertimbangkan segi ekonominya karena pipa saringan tersebut relative mahal harganya sehiongga pemasangan saringan harus seoptimal mungkin.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan panjang saringan adalah:
1. Luas lubang tiap satuan panjang saringan.
2. Karakter hidrolika akiifernya.
3. Besarnya kapasitas pemompaan.
4. Harga saringan.
5. Umur sumur yang direncanakan.
Menurut malton, 1970; untuk menghitung panjang saringan dengan rumus :
SL = panjang saringan (feet)
Q = debit pemompaan (gpm)
Ao = luas lubang efektif dari saringan tiap feet panjang (ft2)
Vc = kecepatan aliran optimum
Dan hubungan kecepatan aliran optimum dengan kelulusan air dari akuifer menurut Walton, 1970 adalah seperti pada table dibawah ini
Tabel 2. Hubungan antara kecepatan aliran optimum dengan kelulusan air dari akuifer (Walton, 1970)
Kelulusan Air Akuifer (m/hari) (gpd/ft2) | Kecepatan Aliran Optimum (Vc) (fpm) |
>6000 6000 5000 4000 3000 2500 2000 1500 1000 500 <500 | 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 |
Besarnya luas lubang efektif rata-rata tinggal 50% dari luas lubang yang ada, hal ini disebabkan sebagian dari lubang saringan tertutup oleh material akuifer atau kerikil pembalutnya.
Rumus panjang saringan seperti tersebut di atas tidak mutlak, menurut Johnson,1975 menyatakan bahwa panjang saringan optimum mempunyai hubungan dengan ketebalan akuifer, draw down, jenis akuifernya. Dalam hal ini dianjurkan sebagai berikut :
1. Panjang saringan pada akuifer tertekan yang homogeny. Kira-kira 70%-80% dari ketebalan akuifernya. Dengan panjang saringan tersebut di atas berartisudah memperoleh kira-kira 90% atau lebih bila dibandingkan dengan pemasangan saringan pada seluruh ketebalan akuifer. Penempatan saringan pada bagian tengah akuifer atau disusun berselang-seling dengan pipa buta.
2. Panjang saringan pada akuifer tertekan yang tidak homogen, sebaiknya pemasangan saringfan pada seluruh akuifer yang diketemukan.
3. Panjang saringan pada akuifer bebas yang homogeny perlu mempertimbangkan kapasitas jenis yang besar diperoleh jika saringannya cukup panjang dan jika drawdown yang akan diambil cukup dalam, maka saringan cukup dipasang pendek saja. Kedua hal tersebut tergantung pada persediaan saringan pompa yang akan dipasang dan pertimbangan ekonomi.pemasanagn optimum jika dipasang pada bagian bawah akuifernya sepanjang sepertiga sampai setengah panjang akuifer.
4. Panjang saringan pada akuifer bebas yang tidak homogeny. Prinsip pemasangannya seperti pada akuifer tertekan yang tidak homogeny, hanya diletakkan pada posisi paling bawah dari akuifer bebas (setengah bebas) untuk mendapatkan drawdown yang lebih dalam.
IV. Penentuan Panjang Saringan
Pengaruh besarnya garis tenagh saringan dapat dipelajari dariu persamaan hidrolika sumur. Pada akuifer bebas menurut Johnson,1975 dengan menggunakan rumus :
Q = debit pemompaan (gpm)
P = kelulusan air (gpd/ft2)
H = tebal lapisan zona jenuh air
H = ketebalan zona air setelah pemompaan (ft)
H-h = drawdown
r = jari-jari sumur (ft)
R = Jari-jari pengaruh (ft)
Dari rumus tersebut, Q bervariasi dengan , dimana K adalah konstansta lain dalam rumus pokok hidrolika sumur, dengan pemikiran bahwa harga n yang besar diperoleh dengan memperbesar garis tengah sumur seperti pada tabel dibawah ini. Tabel 3. Hubungan garis tengah sumur dengan yield ratio (Johnson, 1975)
Yield (%) | Garis Tengah Sumur (Inchi) |
6” | 12” | 16” | 24” | 30” | 36” | 45” |
100 | 110 100 | 117 106 100 | 122 111 104 | 127 116 108 104 100 | 131 110 112 107 103 100 | 137 126 117 112 108 105 |
Dari table tersebut ternyata kelipatan garis tengah sumur hanya akan menaikkan kapasitas sumur sebesar 10%. Untuk menentukan garis tengah saringan yang akan dipasang harus mempertimbangkan lubang bor. Sumur yang memakai kerikil pembalut alam, saringannya harus mempunyai garis tengah 2-4 inchi lebih kecil dari garis tengah lubang bor. Bagi sumur yang memakai kerikil pembalut tiruan selisihnya antara 6-16 inchi dan mempertimbangkan pula jenis akuifernya. Pemilihannya garis tengah saringan pada prinsipnya untuk mengejar luas total lubang agar kecepatan masuknya aliran airtanah tidak melampaui standart yang akibatnya akan memperbesar well-loss. Dari test laboratorium serta percobaan lapangan oleh Johnson, 1975 menunjukkan bahwa kecepatan masuk kedalaman saringan jika harganya sama atau lebih kecil dari 0,1fps akan diperoleh :
1. Kehilangan gesekan (friction loss) dalam tiap lubang saringan aklan dapat diabaikan.
2. Kecepatan inkrustasi akan minimum.
3. Kecepatan korosi akan minimum.
Kecepatan masuk dihitung pembagian debit yang diharapkan dari sumur dengan luas total lubang saringan, jika hasilnya lebih besar dari 0,1 fps maka garis tengah saringan harus dinaikkan untuk mendapatkan luas lubang yang cukup atau kecepatan masuk lebih kecil dari 0,1 fps, demikian sebaliknya. Pertimbangan tersebut apabila sudah tidak mungkin memperbesar lubang saringan karena ukuran lubang sudah sesuai dengan ukuran akuifernya.
V. Penentuan Ukuran Lubang Saringan
Lubang saringan berfungsi sebagai ruang lewatnya airtanah dari akuifer ke dalam sumur dan sebagai penahan material yang tidak diinginkan ikut terbawa masuk ke dalam sumur. Tugas kedua ini dibantu dengan adanya kerikil pembalut yang dipasang di luar pipa saringan.
Penentuan ukuran lubang saringan berdasarkan data analisis ayakan dari serbuk bor akuifer. Dari analisis tersebut dapat ditentukan persentase lolos (percentage passing), persentase tertahan (percentage retained), ukuran butir, menurut Johnson 1975, unutk sumur yang memakai kerikil pembalut alam dengan akuifer berbutir halus maka lebar lubang saringan dipilih pada besaran 40-50% persentase tertahan. Caranya dengan menarik garis datar dari persentase tertahan kumulatif butir akuifer sebesar 40-50% memotong grafik komulatif tersebut dan ditarik tegak memotong sumbu datar yang menunjukkan besarnya ukuran lubang (gambar ). Pemakaian 40% tertahan kumulatif, apabila airtanah tidak bersifat korosi dan contoh butir akuifer dapat dipercaya sedang untuk 50% tertahan kumulatif apabila airtanah bersifat korosi atau contoh butir akuifer homogen berbutir kasar misalnya pasir kasar, kerikil maka penentuan ukuran lubang saringan dapat diambil 30-50%. Untuk akuifer yang tidak homogen, penentuan ukuran lubang saringan disesuaikan dengan ukuran masing-masing akuifer sehingga ukuran saringan yang dipasang berbeda-beda pada sumur tersebut. Selaian tersebut di atas Johnson, 1975 memberikan dua pedoman lagi yaitu: 1. Jika susunan akuifer yang berbutir halus terletak di atas yang berbutir kasar, maka pemasangan saringan dengan ukuran lubang yang direncakan untuk material halus harus diturunkan sedikitnya 2 ft dari batas lapisan kasar dan halus. Hal ini untuk mencegah penerobosan atau penurunan material halus ke dalam lubang saringan yang kasar, jika tidak demikian akan terjadi penerobosan.
2. Jika material halus terletak di atas material kasar dari akuifer, maka ukuran lubang saringan yang akan dipasangkan untuk material kasar tidak boleh saringan dengan ukuran lubang lebih dua kali dari ukuran lubang saringan untuk material halus.
Dengan pedoman tersebut dapat mengurangi pemompaan pasir (sand pump) dan harga kapasitas jenis yang didapat cukup tinggi.
Untuk sumur yang menggunakan kerikil pembalut buatan oleh Sir A. Mac Donald and Partners & Hunting Technical Service ltd. (1965) adalah bahwa ukuran lubang saringan diambil 5 kali 40% dari ukuran 0.10 kerikil pembalut atau 2 kali dari ukuran 0.10 kerikil pembalut. Dengan catatan bahwa kerikil pembalut tersebut sudah memnuhi syarat berdasarkan perhitungan. Sedangkan Bennison menurut Sir M. Mac Donald and Partners & Hunting Technical Service (1965) menyatakan ukuran lubang saringan sama dengan ukuran 0.10 kerikil pembalut.
VI. Kerikil Pembalut
Kerikil pembalut ada 2 macam yaitu kerikil pembalut alam dan kerikil pembalut buatan. Pemakaian kerikil pembalut sekeliling sumur untuk mendapatkan aliran air dengan peralihan halus antara lubang saringan dengan akuifer. Fungsinya yaitu untuk menahn material halus dari akuifer agar tidak masuk kedalam lubang sumur untuk memperoleh tekanan minimum pada daerah sekeliling saringan sumur dan sebagai material pewndukung lunbang bor agar formasi batuan tidak runtuh dan menghimpit pipa instalansi sumur bor untuk mendapatkan aliran tanah.
6.1.Kerikil Pembalut Alam
Adalah kerikil pembalut yang materialnya adalah material formasi batuan itu sendiri jadi tidak diisikan dari luar kerikil ini diperoleh dari hasil pengembangan sumur sehingga material yang halus terusir keluar. Kerikil pembalut ini dipakai pada sumur yang selisih garis tengah lobang bor dengan pipa relative kecil. Disini yang penting adalah memperhatikan kesesuaian lebar lubang sering dengan distribusi ukuran butir akuifer.
6.2.Kerikil Pembalut Buatan
Kerikil pembalut buatan ada 2 macam yaitu seragam dan bergradasi. Kerikil pembalut seragam baik dipakai pada akuifer yang mempunyai distribusi ukuran butir akuifer yang seragam pula. Pemasangan kerikil pembalut ini mudah karena tinggal memasukkan saja dari atas setelah pipa konstruksi sumur. Kerikil pembalut bergradasi diambil keseragaman diasamakan dengan keseragaman akuifer, karena hal ini mempunyai efek terhadap kelulusan air.
6.3.Material Kerikil Pembalut
Kerikil pembalut terdiri atas material yang bersih dengan bentuk membulat, keseragamannya rata dan materialnya silikaan, sedikit atau tanpa mengandung gamping, maksimum gamping yang dijinkan 5 %, shale, anhidrit harus tidak ada. Ketebalan kerikil pembalut dari percobaan ( Hill – Mac Donald and partners dan hunting technical service, 1965 ). Cukup 0,5 inci asal merata tetapi banyak ahli yang menganjurkan antara 6 sampai 7 inchi. Sedanagkan johson , 1975. Antara 3 sampai 9 inchi. Ukuran kerikil pembalut menurut Terzanib( Johson, 1975 ) ditentukkan dengan hasil ayakan butiran akkuifer 15% atau D 15, sehingga ukuran kerikil antara 4 atau 5 kali.
Sumber | Kriteria ukuran butir |
US Water Ways | 0.15 kerikil pembalut | = 6 |
0.85 akuifer |
US Dept of Agriculture | 0.15 kerikil pembalut | = 3.6 – 6.4 |
0.85 akuifer |
US Bureau of reclamation | 0.50 kerikil pembalut | = 5 - 10 |
0.50 akuifer |
VII. Pengembangan Sumur
Setelah sumur selesai dikontruksi maka dilanjutkan dengan pengembangan sumur. Pengembangan sumur dimaksudkan untuk menambah kapasitas sumur dan menjaga agar material halus tidak menutup lubang, pori-pori atau masuk ke dalam sumur. Beberapa cara pengembangan sumur adalah sebagai berikut:
1. Pemompaan dilakukan dengan pipa yang dimasukkan ke dalam sumur dan pada tahap awal harus dijlankan dengan perlahan, makin lama makin cepat dengan dbeit yang cukup besar dan secara menerus sampai airtanah yang keluar jernih. Setelah ditunggu beberapa saat pompa dimatikan supaya muka airtanah kembali ke kedudukan semula, lalu pemompaan dilanjutkan lagi beberapa kali sampai benar-benar bersih. Material kasar yang ikut masuk ke dalam sumur dapat diambil dengan bailer atau alat timba.
2. Surging, yaitu dengan mengaduk air di dalam sumur. Alat yang digunakan berbentuk piston dilengkapi dengan katup. Pada waktu torak dinaikkan airtanah dihisap dari akuifer mengandung CO2 bebas yang dapat terabsorbsi oleh air masuk reap ke dalam tana. Kombinasi CO2 dengan air dalam bentuk carbonic acid yang merupakan asam lemah. Dalam pengalirannya kemungkinan bertemu dengan gamping, napal sehingga dapat melarutkan kalsium karbonat dalam jumlah besar atau material ankrustasi yang lain. Air tersebut ikut masuk ke dalam sumur karena pemompaan yang berarti terjadi perbedaan tekanan antara air dengan akuifer dengan air di dalam sumu, sehingga CO2 yang terlarut dalam air akan terlepas dan material gamping tertinggal pada saringan Atau pada kerikil pembalutnya. Faktor yang menyebabkan ikrustasi adalah tinggi >7.5, kesadahan karbonat >300 bpj, besi >200bpj (inksustasi besi), mangan > 1 bpj.
Untuk memperkirakan apakah airtanah tersebut bersifat korosi atau inkrustasi dengan indeks stabilitas air (RYZNAR). Kalau harga indeks stabilitas air (I) > 9 maka air bersifat kkorosi dan apabila I < 7 bersifat inkrustasi. Harga I ini tidak dapat mengetahui korosi yang disebabkan oleh H2S “sulfate reducing bacteria”, “dissolved oxigen” atau inkrustasi akibat besi, mangan atau bakteri besi. Menentukan harga I dengan pH, TDS, MO (methyl orange alkalinity) dan konsentrasi ion kalsium atau dengan rumus:
I= S – C – pH
Harga S didapat dari gambar yaitu hubungan antara TDS dengan S, sedangkan harga C didapatkan dari hubungan antara MO dengan Ca seperti pada gambar yaitu dengan menarik garis datar dari harga Ca (bpj) dan menarik garis tegak dari harga MO (bpj) berpotongan pada garis miring yang menunjukkan harga C-nya.
3. Surging dengan tekanan udara, yaitu dilakukan dengan kompresor dengan tekanan yang sangat besar. Udara dilewatkan pada rangkaian pipa ke dalam sumur, tekanan diubah-ubah sehingga airtanah di dalam sumur keluar lewat antara pipa dengan pipa jambang bersama-sama kotoran. Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai airtanah yang keluar jernih.
4. Dengan CO2 padat yang dimasukkan ke dalam sumur, mulut sumur ditutup rapat. Sebelum CO2 padat dimasukkan untuk mengahancurkan dan melepaskan lempung dengan pengasaman HCl. Maka terjadi reaksi dengan CO2 padat sehingga terbentuk gas CO2 bertekanan tinggi. Setelah itu tutup sumur dibuka akan terjadi semburan air bersama kotoran (material) sumur dan dilanjutkan dengan pemompaan sampai airtanah yang keluar jernih. Cara ini sangat baik untuk akuifer yang berupa batugamping karena akan terjadi reaksi dengan HC, sehingga tidak perlu memberikan CO2 padat. Cara ini dikenal sebgai acidization (injeksi asam klorida) seperti yang dilakukan pada beberapa sumur bor di daerah Wonosari.
5. Peledakan lubang bor, cara ini baik dilakukan pada akuifer yang kompak dan padat sehingga airtanahnya terdapat pada retakan (rekahan). Peledakan dengan menggunakan dinamit yang dipasang pada kedalaman tertentu dan diledakan dari atas. Retakan akan menjadi bertambah besar sehingga airtanah akan lebih banyak. Setelah itu dilakukan pemompaan untuk membersihkan sumur bor dari kotoran hasil peledakan. Kontruksi sumur bor yang diledakan adalah open hole (lubang terbuka).
VIII. Sumur Resapan
8.1. Bentuk Dan Ukuran Konstruksi Sumur Resapan Air (SRA)
Bentuk dan ukuran konstruksi SRA sesuai dengan SNI No. 03-2459-1991 yang dikeluarkan oleh Departemen Kimpraswil adalah berbentuk segi empat atau silinder dengan ukuran minimal diameter 0,8 meter dan maksimum 1,4 meter dengan kedalaman disesuaikan dengan tipe konstruksi SRA. Pemilihan bahan bangunan yang dipakai tergantung dari fungsinya, seperti plat beton bertulang tebal 10 cm dengan campuran 1 Pc : 2 Psr : 3 Krl untuk penutup sumur dan dinding bata merah dengan campuran spesi 1 Pc : 5 Psr tidak diplester, tebal ½ bata (Gambar 2).
Gambar 8.1. Konstruksi Sumur Resapan Air
Data teknis sumur resapan air yang dikeluarkan oleh PU Cipta Karya adalah sebagai berikut :
1. Ukuran maksimum diameter 1,4 meter
2. Ukuran pipa masuk diameter 110 mm
3. Ukuran pipa pelimpah diameter 110 mm
4. Ukuran kedalaman 1,5 sampai dengan 3 meter
5. Dinding dibuat dari pasangan bata atau batako dari campuran 1 semen : 4 pasir tanpa plester
6. Rongga sumur resapan diisi dengan batu kosong 20/20 setebal 40 cm
7. Penutup sumur resapan dari plat beton tebal 10 cm dengan campuran 1 semen : 2 pasir : 3 kerikil.
8.2. Desain Konstruksi Sumur Resapan Air
Sumur resapan air akan dapat berfungsi dengan baik, apabila didesain berdasarkan kondisi lingkungan dimana sumur tersebut akan dibuat. Desain sumur resapan air dalam hal ini meliputi bentuk, jenis konstruksi dan dimensi sumur resapan air. Menurut SNI No. 02-2453-1991Tentang Tata Cara Perencanaan Teknik Sumur Resapan Air Hujan Untuk Lahan Perkarangan diperlukan persyaratan teknis pemilihan lokasi dan jumlah sumur resapan pada pekarangan, persyaratan teknik meliputi :
1. Umum : dibuat pada lahan yang lolos air dan tahan longsor, bebas dari kontaminasi dan pencemaran limbah, untuk meresapkan air hujan, untuk daerah dengan sanitasi lingkungan yang tidak baik hanya digunakan menampung air hujan dari talang, mempertimbangkan aspek hidrologi, geologi dan hidrologi.
2. Pemilihan lokasi : keadaan muka air tanah dengan kedalaman pada musim hujan, permeabilitas yang diperkenankan 2 –12,5 cm/jam, jarak penempatan diperhitungkan dengan tangki septik tank 2 meter, resapan tangki septik tank/cubluk/saluran air limbah 5 meter, sumur air bersih 2 meter.
3. Jumlah : penentuan jumlah sumur resapan air ditentukan berdasarkan curah hujan maksimum, permeabilitas dan luas bidang tanah.
Dalam mendesain dimensi konstruksi sumur resapan air untuk kawasan perumahan terdapat tiga parameter utama yang perlu diperhatikan yaitu : permeabilitas tanah, curah hujan, dan luas atap rumah/permukaan kedap air (Dephut, 1994). Permeabilitas tanah dapat kita tentukan berdasarkan hasil pengukuran langsung di lokasi permukiman dengan Metode Auger Hole Terbalik. Data permeabilitas tanah ini diperlukan untuk menentukan volume sumur resapan air yang akan dibuat. Curah hujan diperlukan untuk menentukan dimensi sumur resapan air. Data curah hujan yang diperlukan selama 10 tahun pengamatan (diperoleh dari stasiun hujan terdekat). Pengukuran luas atap rumah didasarkan atas luas permukaan atap yang merupakan tempat curah hujan jatuh secara langsung diatasnya.
Sedangkan untuk mendesain bentuk dan jenis konstruksi sumur resapan air diperlukan parameter sifat-sifat fisik tanah yang meliputi Infiltrasi,tekstur tanah, struktur tanah, dan pori drainase (Mulyana, 1998).
8.3. Pembuatan Sumur Resapan Air
Setelah diperoleh desain konstruksi (dimensi, bentuk dan jenis) sumur resapan air sesuai dengan kondisi lingkungan pada kawasan perumahan, selanjutnya dalam proses pembuatan sumur resapan air dapat dirancang dua pola penerapan yaitu: a) pembuatan secara kolektif (berdasarkan blok-blok rumah, atau untuk satu kawasan perumahan); dan b) pembuatan per-tipe rumah.
Pembuatan sumur resapan air per-blok dalam suatu kawasan perumahan harus direncanakan sejak dari awal oleh kontraktor atau developer. Pada siteplan sudah nampak jelas alokasi lahan untuk pembangunan sumur resapan air pada setiap blok (per-blok bisa terdiri dari 10 rumah atau lebih). Alternatif lain, SRA dibuat dalam bentuk danau untuk semua rumah pada suatu kawasan perumahan, sehingga SRA berfungsi disamping untuk meresapkan air ke dalam tanah juga sebagai tempat rekreasi warga. Gambar skematis tentang bangunan sumur resapan air dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini.
Gambar 8.2. Sumur Resapan Air
DAFTAR PUSTAKA
Suharyadi. 1984. Geohidrologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada